15 DESEMBER 2012
@adharta.com
Menyampaikan aspirasi dengan melakukan demonstrasi atau demo.
Saya
terjebak kemarin pagi di Slipi mau menuju ke Twin Hotel untuk
Breakfast. Jalan Tol Slipi Cawang ditutup, yang sudah terlanjur masuk
terpaksa putar balik melawan arus. Bayangkan dari Jembatan Grogol
sampai Taman Anggrek sudah 2 jam lebih. Arus dari Cawang ke Slipi juga
mengalami hal yang sama. Akhirnya seluruh jalan tol lewat dari dan ke
gedung MPR-DPR ditutup, sehingga semua pengguna tol harus putar melawan
arus. Anehnya tidak ada warning sama sekali peringatan pemerintah
daerah. Presiden yang menuju ke gedung MPR-DPR harus keluar tol dan
dijemput dengan pesawat helikopter.
Melalui siaran pandangan mata Radio Elshinta, aku memantau bahwa ada
Demo besar-besaran di Gedung MPR-DPR mengenai keputusan pemerintah
perihal Peraturan Otonomi Daerah. Pendemo dari Persatuan Perangkat Desa
Indonesia dan Aliansi Desa Indonesia. Merekamenuntut bahwa setiap Kepala
Desa harus menjadi pegawai negeri tetap dan aliran dana harus diatur
kepala desa.
Sedih, lapar, kesel, jengkel, sebel beraduk campur baur. Coba bayangkan
maksud hati menempuh jarak 1 km dalam waktu 10 menit jadi 3 jam.
Kejebak dalam macet memang paling tidak enak. Tidak terbayangkan seorang
sopir taxi yang tidak ada penumpang terus kejebak macet tidak terbayang
air mata kesedihannya.
Demo memang baik buat ingin menyampaikan aspirasi untuk kepentingan
kelompoknya tetapi banyak mengorbankan kepentingan orang lain, termasuk
macet yang buat aku kesel banget. Sewaktu masih mahasiswa aku beberapa
kali ikut kegiatan demonstrasi dan senang juga bisa menyampaikan
aspirasi. Aspirasi berhasil atau gagal urusan kedua.
Menyampaikan aspirasi bukan saja datang dari pendemo, kadang datang dari
diri kita yang memprotes pengambilan keputusan kita sendiri. Hal itu
tidak terlepas dalam gereja atau organisasi, seperti perusahaan.
Misalnya kita di demo karyawan sendiri atau umat yang ingin menyampaikan
aspirasi tentang ketidakserasiannya dengan pemikiran kita. Kehidupan
rohani juga sering kali menghadapi kenyataan ini. Hal itu dimulai dari
kisah protestan sampai masa rekonsiliasi kristen.
Kalau dalam diri kita sendiri yang mengalami bagaimana bagian-bagian
kehidupan kita melakukan demo? Tangan mau sendiri, kaki mau sendiri,
badan mau sendiri pasti sangat repot juga. Oleh karena itu, perlu
adanya harmonisasi kehidupan kita. Semoga Tuhan memberikan kekuatan buat
kehidupan kita.
Demo-demo-demo-demo….
BalasHapusyang ada dipikiran saya kalau mendengar demo pasti jalan jadi macet, ditambah ada anarkis lagi.Bikin takut, jadinya tidak mau melewati jalan tersebut.
Begitulah orang Indonesia, setiap ada demo pasti selalu di bumbui dengan kekerasan + mengganggu kelancaran jalan. Ujung-ujungnya yang dirugikan bukan hanya orang yang bersangkutan tapi juga orang yang tidak bersangkutan.
Menurut saya demo itu untuk memberikan aspirasi / menyapaikan perbedaan pendapat kita, tapi bukannya menuntut agar apa yang kita sampaikan harus di penuhi.
Ujung-ujungnya kalau tidak di penuhi apa keinginan mereka, berujung ke anarkis / mogok makan.